Malam itu, dengan sebatang rokok di tangan, ia hisap dalam-dalam. Secangkir kopi pahit sudah habis di samping MP3 player yang sedang ia dengarkan. Playlist-nya berisikan lagu-lagu yang random terputar, beberapa lagu membawanya terbang ke masa lalu, masa dulu, juga masa kini.
Ia hanya sedang menikmati kesendiriannya dengan berpikir , , ,
.
.
.
Terlalu banyak hal yang berkecamuk di pikiran saya. Tentang rasa tidak nyaman, jenuh, dan yang terpenting adalah rasa muak.
Muak? Ya. Saya hanya merasa bahwa apa yang saya lakukan selalu menjadi salah. Ini salah, itu salah. Padahal banyak dari tindakan saya itu hanyalah buah dari itikad baik saya. Ada dua hal yang bisa timbul dari perasaan bersalah tersebut. Pertama, berusaha untuk mencari tahu sumber kesalahan dan memperbaikinya. Kedua, tidak peduli dan malah menjadi-jadi dengan kesalahan yang dituduhkan. Pilihan yang kedua biasanya dilakukan bila tidak ada perasaan bersalah, tidak tahu apa sebenarnya salahnya, dan tentu saja, karena muak.
Saya tidak mau melakukan yang kedua. Hanya saja, apakah kita bisa menahan perasaan muak tersebut? Sulit, apalagi saya sepertinya sudah tenggelam terlalu dalam. Disamping itu, saya memang sedang terlepas dari pegangan saya, atau dilepaskan? Saya sudah tidak tahu lagi harus berpegang kepada siapa.
Sulit untuk percaya kepada siapapun.
Dulu, saya berpikir bahwa saya orang yang tidak mudah percaya kepada orang. Tetapi, kalau dipikir-pikir lagi, ternyata yang terjadi sebenarnya adalah kebalikannya, yang saya sendiri tidak sadar akan hal itu. Ternyata saya terlalu mudah percaya dan luluh kepada orang.
Memang, pada awal saya akan bersikap skeptis atau acuh, tapi bila saya sudah "dimanis-manisi" sedikit saja, hati saya akan terbuka tanpa lihat-lihat lagi.
Mungkin saya memang terlalu naif.
Saya benci akan hal itu.
Tentu saja berbagai macam pikiran ini akan membuat saya lebih berhati-hati, atau istilah kasarnya saya ingin berusaha skeptis dulu, daripada percaya-percaya dan akhirnya terbodoh-bodohi.
Semua pikiran ini juga terinspirasi dari obrolan panjang bersama teman dekat saya sewaktu SMA. Dia membuka mata saya, mengenalkan istilah reverse reverse psychology, menyadarkan saya akan banyaknya manipulasi otak yang busuk, dan segala macam hal yang sebenarnya saya ketahui hanya saja tidak saya sadari.
Saya selama ini selalu percaya, bahwa setiap orang pada dasarnya punya hati yang baik, sebusuk-busuknya orang itu.
Bahkan sampai sekarang sulit bagi saya untuk mengesampingkan pikiran bahwa "pada dasarnya semua orang itu hatinya pasti baik".
.
.
.
Ia masih tenggelam dalam pikirannya, sewaktu ia mengingat satu kalimat sederhana dari teman lamanya itu, yang menempel jelas di otaknya,
"Life is not that fairy tale . . ."
Ya, dia benar. Saya sudah tahu akan hal itu, jauh sebelum ia menyadarkan saya kembali. Terimakasih, bagi semua yang membuat saya berpikir dan tersadar bahwa makin banyak kebusukan di sekitar saya, di sekitar kita semua.
Wah, saya makin kedengaran skeptis ya, sepertinya? Ha Ha Ha ...
Semoga saja saya tidak masuk ke dalam lingkaran nista itu, tidak! Tidak akan pernah mau.
Ia pun pergi, melanjutkan kisahnya, mencari potongan-potongan yang belum selesai, menikmati hidup yang mau tidak mau, harus disadari, semakin kotor...
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire