Disaat itu aku terdiam. Memikirkan penawaranmu.
Begitu meyakinkan, begitu membuatku berpikir betapa bodohnya bila kusia-siakan kebaikanmu.
Yang lalu kusadari memang aku ini bodoh, pada saat itu.
Pada saat itu dimana mata ini rasanya ingin mengeluarkan setetes saja,
untuk membuang apa yang disebut sebagai masa lalu.
Tapi bulir itu tertahan, tak kunjung keluar.
Aku terlalu sibuk untuk meregangkan otot bibirku dan tersenyum kepada mereka.
Menyambut hangat genggaman tangan mereka dan ikut berbahagia dengan mereka.
Bukan mereka yang berbahagia karenaku, aku tau itu salah dan bukan apa adanya.
Tidak ada yang tahu, toh aku pandai memainkan peranku di dalam dunia penuh sandiwara ini.
Penghargaan wajib diberikan untuk orang yang berjanji akan berusaha.
Yang berjanji akan menjadi yang terbaik, tanpa diminta.
Tapi apalah arti sebuah janji untuknya?
Mungkin ekspektasi yang terlalu tinggi akan sebuah hal paling sederhana bernama janjilah yang membawaku ke lubang itu.
Lalu aku berenang mengarungi arus, berniat untuk tidak menoleh ke belakang,
mengikuti aliran arus yang membawaku,
karena kupikir semua akan mudah disaat aku mempraktekkan sebuah kata : ikhlas.
Tentu saja semua tidak semudah itu.
Penyebrangan dan pengaliran ini membuatku harus terseok seok,
terkadang tenggelam lalu muncul lagi,
tersangkut batu dan ranting yang merobek kulitku,
kedinginan di deras air,
karena akhirnya kusadari, dia tidak bersamaku.
aku sendiri.
Betapa kupikir dari awal,
dialah yang akan membimbingku melewati arus ini dan menyeberang sampai tujuan yang baru.
Ternyata tidak.
Dia masih ada di situ, diam saja tidak berbuat apa-apa.
Dia butuh pergi, aku tahu.
Tapi rupanya raganya yang terlihat kuat tidak sanggup untuk ikut denganku menyeberangi arus yang liar.
Tidak sanggup, pada awalnya
Tidak mau, pada kenyataannya.
Lalu aku mengubah haluanku,
demi kamu yang akan menyebrang bersamaku.
Kukorbankan semua yang bisa kukorbankan,
untuk membangun sebuah jembatan dengan tanganku sendiri, tanpa bantuan siapapun.
Jembatan untuk kita berdua melewatinya,
tanpa harus kau merasakan dingin dan liarnya arus dibawah.
Sehingga aku dan kau akan tiba di sebuah tujuan kita bersama,
dengan tenang, tanpa perlu kau bersusah payah.
Kutinggalkan kota tuaku dan arus liar itu kusambut.
Aku mulai membangun jembatan itu dengan sepenuh hati.
Tanganku terluka, peluh dan keringat, matahari menyengat.
Tak kuhiraukan semua itu,
karena kutahu, semua butuh pengorbanan.
Terkadang angin datang, mencoba mengguncang jembatan yang sedang susah payah kubuat.
Hembusan itu tak elak membuatmu menengok kembali ke sana.
Tapi aku percaya kau akan menyeberang bersamaku,
sehingga tak kuhiraukan binatang-binatang jalang yang datang mencoba merobohkan jerih payahku ini.
Aku percaya.
Aku percaya kepadamu.
Hingga suatu saat tiba.
Ada yang berhasil merubuhkannya.
Siapa? Anginkah ia? Binatang jalang? Hujan? Petir?
Tidak, aku tak gentar dengan semua itu.
Bukan, ternyata aku salah.
Bukan mereka, tapi kau!
Kau robohkan semua pengorbananku.
Kau tak mau tahu. Tidak. Mau.
Kalau begitu,
selamat tinggal ksatria berparas baja.
Parasmu memang baja,
tapi hatimu?
Bagaikan sebulir ludah yang kau jilat sendiri.
Hatimu tidak sekuat itu.
Baja? Jangan buat aku tertawa.
Lemah, egois, munafik, me-nye-dih-kan, kalau boleh aku lontarkan kata-kata kasar itu.
Berkembanglah, sambutlah dunia di depanmu.
Keluarlah dari lubang kotor yang kau buat sendiri.
Selayaknya aku menggali masa depanku ke angkasa, sekarang.
Pergilah dari kebodohan.....
dan kau akan melihat masa depan...
*
Pict from here.